Review Bacaan : Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982

 


Novel Kim Ji-yeong lahir tahun 1982 (Judul asli : Kim Ji-yeong Born 1982) adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ditulis oleh Cho Nam Joo yang menuai berbagai reaksi di kalangan masyarakat Korea Selatan. Novel ini mengambil isu sensitif tentang diskriminasi, patriarki, serta misoginis yang dikemas dengan cerita yang ringan dibaca serta sangat menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi pada perempuan.

Kim Ji-yeong lahir dalam keluarga yang menginginkan kelahiran anak laki-laki. Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya Kim Eun-yeong merupakan perempuan dan adik bungsunya yang lebih muda lima tahun darinya merupakan seorang laki-laki. Mereka tumbuh dalam satu keluarga tetapi mendapatkan “privilege” yang berbeda. Sedari kecil, setelah mereka pulang sekolah dan mengerjakan tugas, Ji-yeong dan kakak perempuannya selalu diberi tugas tambahan untuk membereskan rumah dan seisinya, sementara adik laki-lakinya dibiarkan untuk bermalas-malasan, Ibunya berkata bahwa adik laki-lakinya masih kecil, namun Kim Eunyeong memberontak dan berkata bahwa bukan karena dia masih kecil, dan bukan karena ia anak bungsu tapi karena ia merupakan anak laki-laki. Kim Jiyeong dan kakak perempuannya tidur berdua di kamar yang sesak sementara itu, adik laki-lakinya tidur bersama Neneknya di kamar yang lebih luas, bahkan Neneknya pernah berkata bahwa seharusnya anak laki-laki tidur di kamarnya sendiri yang ruangannya luas. Itu adalah sebagian contoh perlakuan kecil keluarganya yang membedakan antara anak laki-lakii serta perempuan. Walaupun sering merasakan perilaku yang tidak adil, Kim Ji-yeong pada saat itu tidak pernah merasa iri dan Ia merasa bahwa sudah seharusnya yang menjadi kakak mengalah pada adiknya.

Setelah menginjak SMP kehidupannya tidak banyak berubah. Suatu hari, ada seorang perempuan yang dicegat di gerbang sekolahnya lantaran memakai sepatu olahraga lalu dihukum. Ia kemudian memprotes kenapa hanya anak laki-laki yang diperbolehkan menggunakan kaus dan sepatu olahraga. Guru pengawas itu menjawab karena laki-laki selalu bergerak dan bermain sepak bola, bisbol dan lain-lain. Padahal anak perempuan juga suka bergerak dan bermain lompat tali, mereka merasa tidak nyaman ketika harus menggunakan sepatu biasa.

Berlanjut pada masa SMA, Kim Ji-yeong bersekolah di SMA khusus perempuan yang berjarak 15 menit dari rumahnya, selain itu ia juga mengikuti kursus. Suatu saat Jiyeong mengikuti kelas khusus di tempat kursusnya yang menyebabkan ia pulang larut malam. Ia menaiki bus untuk pulang dari tempat kursus, namun ia sadar bahwa sedang diuntit oleh seorang laki-laki. Laki-laki itu terus menguntit Jiyeong. Di dalam bus, ia meminta tolong kepada seorang perempuan dengan isyarat merentanngkan ibu jari dan telunjuknya untuk menelpon Ayahnya agar menjemputnya di halte. Saat tiba di halte Jiyeong turun dari bus dengan keadaan tersungkur karena ia sedikit berlari sambil menangis. Seentara itu si penguntit masih mengikutinya namun tak lama Ayahnya datang menjemput. Di perjalanan Ayahnya malah memarahi Jiyeong dan berkata bahwa hal tersebut terjadi karena kesalahan Jiyeong yang pulang larut malam, berbicara ke sembarang orang, ikut kursus di tempat yang terlalu jauh dan menggunakan baju serta rok yang terlalu pendek sehingga menjadi perhatian si penguntit. Pada akhirnya Jiyeong berhenti mengikuti kursus.

Berlanjut dewasa saat Jiyeong kuliah dan kerja, ia masih saja merasakan banyak ketidaknymanan. Pada saat beberapa kali melamar pekerjaan, ia seringkali ditolak walaupun skor nya dengan peserta lain sama. Kerapkali perusahaan memprioritaskan pekerja laki-laki daripada perempuan. Bahkan setelah Jiyeong bekerja, ia mendapatkan perlakuan tidak adil seperti jumlah gaji yang lebih kecil dibanding dengan pekerja laki-laki. Tidak hanya itu, setelah ia berhenti bekerja teman-teman perempuan di tempat ia dahulu bekerja ternyata mendapatkan pelecehan seksual dari karyawan laki-laki.

Hari-hari berlalu, ditengah kehampaan dan kekosongan hidupnya, Jiyeong bertemu dengan Daehyeon lalu kemudian menikah dan tak lama ia mengandung. Sewaktu ketika ia pernah datang ke tempat kerja dengan kompensasi waktu bagi pekerja perempuan yang sedang hamil, namun yang Jiyeong dapatkan adalah cemoohan dari karyawan laki-laki karena dianggap hanya enak-enak bisa datang telat. Hal tersebut terus membuat Jiyeong stress dan memutuskan untuk berhenti bekerja walaupun Jiyeong memiliki cita-cita menjadi wanita karir dan suaminya pun mendukung keputusan Jiyeong untuk berkarir. Jiyeong akhirnya hanya fokus pada urusan rumah tangga dan mengasuh anaknya.

Setelah anaknya memasuki usia balita, Jiyeong memiliki keinginan kembali untuk bekerja. Namun karena desakan dari luar termasuk mertuanya sendiri membuat Jiyeong menjadi semakin depresi. Mertuanya berbicara bahwa perempuan seharusnya diam dirumah mengurusi urusan rumah tangga karena ia juga berpikir bahwa gajinya Jiyeong lebih sedikit dibanding suaminya. Dari hal inilah membuat Jiyeong sering melamun dan bertingkah tidak seperti biasanya. Jiyeong mengalami depresi yang berat, tetapi Jiyeong tidak menyerah, suaminya mencoba untuk membawa Jiyeong melawan depresinya dengan berobat ke psikiater.

Begitu banyak tekanan yang didapatkan oleh Jiyeong dari kecil hingga dewasa,  bahkan hanya karena Jiyeong adalah seorang perempuan. 



(Nida Mustafidah) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Istinbath Hukum Mazhab Fiqh Sunni, Syi'ah dan Khawarij

MANIFESTO KETIDAKADILAN GENDER

PERKAWINAN ANAK DALAM PANDANGAN FEMINIST LEGAL THEORY : STUDI KASUS PERKAWINAN ANAK PADA MASA PANDEMI COVID-19