PERKAWINAN ANAK DALAM PANDANGAN FEMINIST LEGAL THEORY : STUDI KASUS PERKAWINAN ANAK PADA MASA PANDEMI COVID-19

A.     

Picture : Republika

Pendahuluan

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-Undang ini juga mengatur tentang perlindungan anak dan memberi makna anak sebagai subjek hukum dari sistem hukum nasional, yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.[1]

Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989, hak-hak anak meliputi: 1) hak untuk bermain; 2) hak untuk mendapatkan pendidikan; 3) hak untuk mendapatkan perlindungan; 4) hak untuk mendapatkan nama (identitas); 5) hak untuk mendapatkan status kebangsaan; 6) hak untuk mendapatkan makanan; 7) hak untuk mendapatkan akses kesehatan; 8) hak untuk mendapatkan rekreasi; 9) hak untuk mendapatkan kesamaan; 10) hak untuk memiliki peran dalam pembangunan. Dalam kajian dan beberapa konvensi internasional, anak termasuk kelompok yang rentan bersama dengan kelompok perempuan, kelompok minoritas, kelompok pengungsi  dan kelompok rentan lainnya.

Walaupun sudah banyak peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak, di Indonesia sendiri perlindungan anak masih jauh dari harapan. Dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/ CRC) dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) mengenali dan mengakui dimensi gender di dalam perlindungan hak anak.[2]  Salah satunya yang memprihatinkan adalah banyaknya kasus perkawinan pada usia anak yang merupakan persoalan spesifik berbasis gender. Dilansir dari Council of Foreign Relations (CFR 2015), Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak. Indonesia adalah yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Di Indonesia sendiri, anak perempuan merupakan golongan yang paling rentan menjadi korban perkawinan anak, dengan prevalensi: 1. Anak perempuan dari daerah perdesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih banyak untuk menikah dibanding dari daerah perkotaan. 2. Pengantin anak yang paling mungkin berasal dari keluarga miskin. 3. Anak perempuan yang kurang berpendidikan dan drop-out dari sekolahan umumnya lebih rentan menjadi pengantin anak daripada yang bersekolah.[3]

Dengan kondisi rill seperti itu, wajar apabila status peran perempuan dinilai lebih buruk, khususnya dalam hal ketidakadilan di bidang perkawinan (keluarga). Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor, misalnya, masyarakat kita yang masih sangat kuat menganut nilai-nilai budaya patriarkis, serta masih adanya UU atau hukum nasional bias gender yang belum memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, khususnya anak perempuan, seperti pada kasus melonjaknya perkawinan anak pada masa pandemi Covid-19.

Telah banyak teori hukum yang dihadirkan terkait adanya fenomena dalam  masyarakat. Salah satunya teori yang menyoroti peranan hukum yang dirasakan terlalu banyak memberikan keberpihakan kepada golongan tertentu karena hukum disusun oleh golongan tersebut yakni Teori Hukum Feminis / Feminist Legal Theory (FLT). Sebagai sebuah aliran pemikiran, Feminist Legal Theory (FLT) berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum.

B.      Pembahasan

1.       Perkawinan Anak

Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan juga merupakan legitimasi sosial. Orang yang telah melaksanakan perkawinan akan terhindar dari fitnah-fitnah yang mungkin terjadi sewaktu belum terikat dalam sebuah perkawinan. Pengertian perkawinan anak dalam kerangka Hak Asasi Manusia adalah perkawinan yang terjadi sebelum anak berusia 18 tahun. Hal ini kemudian yang mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan seluruh negara anggota untuk menaikkan batas umur minimal seseorang boleh menikah menjadi 18 tahun.

Regulasi yang mengatur tentang perkawinan anak adalah UU No. 7 Tahun 1974 Pasal 1 yakni perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Kemudian ketentuan ini dirubah dengan adanya UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan Pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria dan wanita mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Perkawinan usia anak sendiri bisa dilaksanakan apabila mendapatkan dispensasi dari Pengadilan. Di tingkat Internasional pemerintah Indonesia juga terikat Konvensi Hak Anak (diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 36/1990), Konvensi CEDAW (diratifikasi melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984), Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (diratifikasi melalui Undang-undang No. 12 tahun 2005), Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (diratifikasi melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005). Selanjutnya pemerintah juga terikat pada tujuan kelima (berisi 9 target) agenda Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangungan Berkelanjutan 2015-2030 yakni mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan seluruh perempuan dan anak perempuan, secara spesifik dalam Target 5.3 disebutkan target untuk menghilangkan segala praktek-praktek berbahaya seperti pernikahan anak, pernikahan paksa, serta khitan perempuan.[4]

Walaupun sudah banyak regulasi yang mengatur tentang Perkawinan, termasuk batas usia perkawinan, di Indonesia sendiri, praktek perkawinan anak nyatanya masih menjadi suatu persoalan serius. Regulasi tersebut nyatanya masih sulit untuk diimplementasikan. Perkawinan anak sangat rentan dan beresiko, selain dengan menyebabkan anak kehilangan haknya, resiko kesehatan dan kemiskinan juga bisa menjadi dampak dalam perkawinan anak, terlebih bagi anak perempuan yang memiliki kerentanan dalam organ reproduksinya yang belum matang.

2.       Feminist Legal Theory (FLT)

Feminist Legal Theory (FLT) atau Teori Hukum Feminis muncul pertama kali pada tahun 1970-an bersamaan dengan berkembangnya Critical Legal Studies (CLS) sebagai sebuah aliran pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum.[5] Di tengah budaya patriarki, hukum semata hanya dilihat dari sudut pandang laki-laki karena laki-lakilah yang menulis hukum dan memasukkan kepentingan-kepentingannya. Gagasan dari pendekatan hukum berperspektif perempuan ini bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan antara perempuan dan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum diinformasikan oleh laki-laki, dan bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan sosial yang patriarkis. Hubungan yang di maksud merupakan sesuatu yang didasarkan pada norma, pengalaman, dan kekuasaan lakilaki, namun mengabaikan pengalaman perempuan. Teori dibutuhkan untuk dapat memahami hakikat dari banyak permasalahan yang dialami perempuan dalam menghadapi hukum.[6] Sebelum lahirnya FLT yang spesifik menyorot pada obyek hukum, feminisme (tokohnya disebut Feminis) yang merupakan sebuah gerakan perempuan untuk menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria, sudah muncul jauh hari sejak abad ke-18 seiring dengan kelahiran abad pencerahan Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Pada awalnya, gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dikarenakan merajarelanya pemasukan terhadap kebebasan hak-hak perempuan. Kemudian FLT muncul sejak akhir tahun 1960-an dan selama tahun 1970-an di Amerika. Aliran ini muncul karena adanya realitas semakin meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi hukum dan dimulainya kritik mereka pada teori hukum yang tidak memiliki kontribusi terhadap permasalahan perempuan. Pemikiran para feminis hukum, akhirnya dijadikan sebagai pijakan para penstudi hukum di berbagai belahan dunia yang gelisah dengan adanya realitas ketidakberpihakan hukum pada kaum perempuan dan mendiskriminasikan kaum perempuan. [7]

FLT ini kemudian berkembang berdasarkan dua preposisi. Pertama, bahwa sejarah telah membuktikan bahwa dunia ini dikuasai oleh laki-laki karena memiliki kekuasaan dan keistimewaan lebih besar dari perempuan. Kedua, bahwa dalam sejarahnya untuk urusan publik kaum laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Perkembangan aliran hukum FLT ini selanjutnya berkembang menjadi empat pemikiran yaitu:

1.       Equal Treatment Theory, adalah jenis FLT yang memberikan kesempatan dan hak yang sama (formal equality) baik kepada laki-laki maupun perempuan seperti kesetaraan sebagai warga negara, kesetaraan dalam urusan publik, individualistik dan rasionalitas.

2.       Cultural Feminism, memandang perempuan secara kodrat mempunyai karakteristik yang berbeda dengan laki-laki seperti keadaan biologisnya (reproduksi).

3.       Dominance Theory, yaitu stigma yang terinsitusionalisasi di masyarakat bahwa derajat laki-laki lebih tinggi atau lebih superior sedangkan perempuan posisinya inferior atau menjadi subordinat dari lakilaki dikarenakan faktor ekonomi, faktor politik dan hubungan keluarga yang lebih mendominasi.

4.       Anti Essentialism, adalah perluasan dari konsep Dominance Theory yaitu perlakuan antar sesama wanita.[8]

 

3.       Kasus Perkawinan Anak Pada Masa Pandemi Covid-19 dalam Pandangan Feminist Legal Theory

Pandemi Covid-19 kian memperparah kondisi perkawinan anak baik di Indonesia maupun di dunia secara umum. Di Indonesia, jumlah angka perkawinan anak pada masa pandemi Covid-19 mengalami kenaikan sebesar 300 persen. Hal ini menjadi alarm tanda bahaya sebab meningkatkan potensi kekerasan seksual dan permasalahan sosial yang lain. Selain itu, anak juga kehilangan hak-haknya. Dilansir dari Komnas Perempuan, temuan kenaikan kasus perkawinan anak ini ditemukan dalam kategori dispensasi kawin yang dikabulkan Pengadilan Agama meningkat tiga kali lipat semasa pandemi. Dari sebelumnya 23.126 menjadi 64.211 adalah hal mengkhawatirkan yang perlu mendapatkan perhatian serius.[9] Lantaran syarat umur perkawinan juga naik menjadi 19 (sembilan belas) tahun, angka dispensasi perkawinan pun melonjak.

Selama pandemi Covid-19, banyak anak yang kemudian putus sekolah lantaran menikah dan harus bekerja membantu ekonomi keluarga. Di dalam struktur keluarga, anak perempuan memiliki posisi lebih rentan untuk terjebak dalam perkawinan anak dibandingkan laki-laki. Perempuan posisinya inferior atau menjadi subordinat dari laki-laki dikarenakan faktor ekonomi, faktor politik dan hubungan keluarga yang lebih mendominasi. Dari pembagian klaster superior bagi laki-laki dan inferior bagi perempuan tersebut atau perempuan sebagai subordinat dari laki-laki berimplikasi adanya stereotip bahwa tanggungjawab perempuan hanya pada urusan-urusan domestik atau keluarga, mengurus anak dan lain-lain atau dalam kata lain, masyarakat masih terkungkung dalam budaya patriarki. Budaya patriarki didefinisikan sebagai sebuah sistem atau kepercayaan bahwa laki-laki harus lebih superior dibanding dengan perempuan dalam berbagai bidang seperti bidang pendidikan, pekerjaan, jabatan politik dan agama sehingga secara tidak langsung melegitimasi bahwa perempuan sebagai objek dan warga negara kelas kedua . Inilah yang dikritik oleh teori hukum FLT untuk mensejajarkan peran perempuan dengan laki-laki yang tidak boleh didasarkan atas pembagian stigma di atas. Dengan kata lain, FLT bertujuan untuk membebaskan perempuan dari dominasi laki-laki akibat struktur sosial masyarakat yang tidak adil.

Paradigma FLT di atas, pada kenyataannya masih kurang diakomodasi oleh hakim dalam memutuskan izin dispensasi perkawinan pada anak. Contohnya dalam kasus penetapan Nomor.10/PDT.P/2017/PA.BJN. Hal ini terlihat bahwa pertimbangan hakim hanya menjadikan objek kepada pemohon (calon suami) saja, yaitu: a. Pemohon belum genap berusia 19 tahun, b. Secara fisik dan fikirannya belum pantas untuk melaksanakan perkawinan, c. Belum bekerja dan d. Belum mempunyai penghasilan sehingga tidak dapat memberikan nafkah kepada istrinya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, kemudian hakim menolak untuk mengabulkan permohonan dispensasi kawin meskipun istrinya sedang mengandung calon anak mereka.[10]

Orang tua/keluarga yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan anak juga menjadi sebab adanya perkawinan anak. Kurangnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan serta anggapan bahwa anak masih dianggap sebagai beban keluarga, sehingga mereka memilih untuk menikahkan anaknya di usia dini karena kondisi krisis ekonomi yang kian melonjak semasa pandemi Covid-19. Anggapan ini juga membuktikan bahwa anak perempuan dianggap tidak mandiri, oleh karenanya ketika anak dikawinkan, maka ia akan bergantung kepada suami serta beban nafkah yang tadinya ditanggung orang tua kemudian berpindah ke tangan suami. Oleh karena itu, kebanyakan anak perempuan lah yang menjadi korban perkawinan anak. Orang tua khususnya dalam masyarakat pedesaan masih menganut sistem patriarki, dimana ada anggapan bahwa orang tua dianggap sukses ketika ia bisa menikahkan anak perempuan nya pada usia yang masih muda dan tidak menjadi perawan tua. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan tentang kesehatan reproduksi perempuan yang sangat rentan ketika dihadapkan pada perkawinan anak.

Dalam analisa Dominance Theory (FLT), semestinya tidak ada lagi pola pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan pemberian nafkah hanya oleh suami. Suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama jika dihadapkan pada persoalan perkawinan. Hal ini justru dianggap melanggengkan kemiskinan, karena cenderung lebih banyak anak namun lebih sedikit penghasilan mandiri. Terlebih konstruk sosial dalam masyarakat semestinya tidak dibedakan dari jenis kelaminnya.

Lalu, dalam analisis  Cultural Feminist (FLT), orang tua tidak mencerminkan pemikiran FLT Cultural Feminism. bahwa perempuan itu memiliki takdir dan kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki, seperti reproduksi atau kehamilan. Perkawinan anak memberikan resiko lebih tinggi dalam kesehatan seperti kasus kematian bayi, keterbatasan akses penggunaan kontasepsi serta layanan informasi kesehatan reproduksi, meningkatkan resiko anak stunting dan lain sebagainya.

Lalu, langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan untuk bebas dari budaya patriarki? Membebaskan dari “Paradigma Patriarkhisme” adalah langkah yang tepat. Sejumlah kajian mengenai HAM menjelaskan bahwa hambatan pertama dalam menguatkan hak-hak kaum perempuan adalah faktor budaya. Masyarakat kita masih sangat kuat menganut nilai-nilai budaya patriarkhi yang tentu sangat tidak kondusif bagi upaya penegakan hak-hak anak perempuan. Pertama, dengan membangun kesadaran bersama di masyarakat akan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, mensosialisasikan budaya kesetaraan sejak di rumah tangga melalui pola-pola pengasuhan anak yang demokratis, serta di masyarakat melalui metode pembelajaran yang demokratis pada lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Ketiga, melakukan dekonstruksi terhadap ajaran dan interpretasi agama yang bias gender dan patriarkhis, menyebarkan ajaran agama yang apresiatif dan ekomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, dan nilai-nilai kedamaian.  Keempat, merevisi semua peraturan dan perundang-undangan yang tidak kondusif bagi upaya penegakan dan perlindungan HAM, seperti UU Pendidikan Nasional, UUP, UU Ketenagakerjaan, UU Kewarganegaraan, UU Perbankan, UU Imigrasi, dll. Selain itu, merumuskan peraturan perundang-undangan yang baru yang menakomodasikan upaya-upaya membangun civil societyi yang kuat dan mandiri, seperti UU Anti traffikicking, UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Catatan Sipil, UU Jaminan Sosial dan seterusnya.[11]

C.     Penutup

Analisa atas penetapan kasus perkawinan anak pada masa pandemi Covid-19 ini menyimpulkan : Pertama, anak perempuan dalam masyarakat patriarki menjadi beban ekonomi keluarga, tujuan menikahkan anak yaitu agar segera bebas dari tanggungjawab orang tua. Kedua, dalam kehidupan masyarakat patriarki, perkawinan anak bagi anak perempuan dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan orang tua dalam membesarkan anaknya.

Sejumlah kajian mengenai HAM menjelaskan bahwa hambatan pertama dalam menguatkan hak-hak kaum perempuan adalah faktor budaya. Masyarakat kita masih sangat kuat menganut nilai-nilai budaya patriarki yang tentu sangat tidak kondusif bagi upaya penegakan hak-hak anak perempuan. Fatalnya, budaya tersebut mendapatkan pembenaran peraturan perundang-undangan atau perumus hukum. Maka dari itu diperlukan langkah-langkah untuk terbebas dari budaya patriarki yang menyebabkan tingginya kasus perkawinan anak.



[1] Dede Kania, Hak Asasi Manusia dalam Realitas Global. (Bandung : Manggu, 2018) hal 231.

[2] Atnike Nova Sigiro, Hak Anak dan Keadilan Gender Child’s Rights and Gender Justice, Jurnal Perempuan, Vol. 25, No. 2, Mei 2020 hal. Iii. Diakses pada tanggal 27 Juni 2021.

[3] Dewi Candraningrum, Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan?, Jurnal Perempuan, Vol. 21 No. 1, (Februari 2016) hal.4 . Diakses pada tanggal 27 Juni 2021.

[4] Dewi Candraningrum, Ibid, Hal. 7-8

[5] Aditya Yuli Sulistyawan, Feminist Legal Theory Dalam Telaah Paradigma: Suatu Pemetaan Filsafat Hukum, Jurnal Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 1, (Januari 2018) hal 56. Diakses pada tanggal 27 Juni 2021.

[6] Doortje D. Turanganupaya, Pemberdayaan Perempuan dan Hak Asasi Manusia, dalam Karya Ilmiah Universitas Sam Ratulangi http://repo.unsrat.ac.id, diakses pada tanggal 27 Juni 2021.

[7] Mesraini, Indra Rahmatullah, Abdul Alim Mahmud., Teori Hukum Feminisme dan Kaidah Fikih Sebagai Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Dispensasi Kawin (Studi Penetapan Hakim Nomor.10/Pdt.P/2017/PA.Bjn di Pengadilan Agama Bojonegoro), PALASTREN, Vol. 13, No. 1, (Juni 2020) hal. 148-149. Diakses pada tanggal 26 Juni 2021.

[8] Mesraini, Indra Rahmatullah, Abdul Alim Mahmud. Ibid., hal. 149-150.

[9] Komnas Perempuan, Catahu 2021 : Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, (Maret, 2021), hal 68. Diakses pada tanggal 28 Juni 2021.

[10] Mesraini, Indra Rahmatullah, Abdul Alim Mahmud. Op.cit., hal. 152.

[11] Habib Shulton Asnawi, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap UU NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Suatu Upaya dalam Menegakkan Keadilan HAM Kaum Perempuan, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 4, No. 1, 2011 hal 127-128. Diakses pada tanggal 27 Juni 2021.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Istinbath Hukum Mazhab Fiqh Sunni, Syi'ah dan Khawarij

MANIFESTO KETIDAKADILAN GENDER