MANIFESTO KETIDAKADILAN GENDER
sumber : klippa.com |
Gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu lebih feminin (lemah lembut, cantik, emosional, keibuan dan lain sebagainya) sedangkan laki-laki lebih maskulin (kuat, jantan, perkasa). Sebetulnya sifat tersebut bisa dipertukarkan, perempuan kuat, ataupun sebaliknya laki-laki bisa saja lemah lembut. Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, salah satunya dikarenakan pertukaran zaman. Mungkin saja dahulu laki-laki dianggap yang paling kuat daripada perempuan karena mampu bekerja dan lain sebagainya. Tetapi, pada zaman sekarang, nyatanya banyak perempuan yang kuat yang mampu bekerja seperti layaknya laki-laki. Semua hal yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan itulah yang disebut dengan konsep gender.
Sedangkan konsep seks (jenis kelamin) merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya laki-laki adalah manusia yang mempunyai alat kelamin yaitu penis, sedangkan perempuan memiliki alat kelamin vagina. Alat kelamin tersebut selamanya melekat pada masing-masing manusia baik laki-laki maupun perempuan dan bersifat kodrati bukan dari konstruksi sosial di lingkungan masyarakat. Hal tersebut bersifat permanen dan tidak berubah. Setelah jelas pengertian antara gender dan jenis kelamin, muncul pertanyaan mengapa perbedaan gender di dalam kehidupan saat ini menghasilkan ketidkadilan?
Sebetulnya, perbedaan gender tidak menjadi permasalahan ketika tidak menghasilkan ketidakadilan gender. Namun pada kenyataan saat ini, permasalahan gender banyak menghasilkan ketidakadilan gender yang bukan hanya terhadap kaum perempuan, tetapi terhadap laki-lakipun sama. Konstruksi gender pada masyarakat Indonesia lebih cenderung menyudutkan perempuan, masalah mengenai kesetaraan gender termasuk masalah utama yang sedang dihadapi saat ini. Sepanjang tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ke 4 di ASEAN dalam indeks ketimpangan gender tertinggi. Tingkat kesetaraan gender di Indonesia masih kalah jauh dari Filipina. Masyarakat Indonesia masih sulit untuk menghargai perbedaan gender sehingga timbul banyak masalah mengenai hal itu
Ketidakadilan gender ini termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni : marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan beban kerja ganda. Keempat bentuk ketidakadilan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya pelabelan atau stereotipe negatif pada perempuan bisa menyebabkan kekerasan pada perempuan (violence) seperti pelecehan dan sebagainya. Bentuk ketidakadilan gender diuraikan sebagai berikut :
1. Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi adalah pembatasan peran bagi kaum perempuan. Proses marginalisasi dalam masyarakat bisa disebabkan oleh berbagai kejadian. Namun dalam proses marginalisasi perempuan, masalah gender adalah yang melatarbelakangi hal tersebut. Misalnya, perempuan dianggap tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan berat karena perempuan dianggap lemah dan tidak kuat. Akibatnya banyak perempuan miskin dan termarginalisasi karena mereka tidak mempunyai pekerjaan dan tersingkirkan. Contoh kasus lain didalam keluarga, perempuan dianggap hanya sebagai orang yang mengurusi urusan rumah tangga saja dan dalam pengambilan keputusan lebih mengandalkan pihak laki-laki. Terlebih banyak laki-laki yang merasa minder jika penghasilan istrinya lebih besar. Hal ini juga membuktikan bahwa praktek marginalisasi bukan hanya terjadi di ranah publik, tetapi juga terjadi di ranah-ranah domestik.
2. Subordinasi
Subordinasi adalah penomorduaan terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, dalam keluarga laki-laki lebih diprioritaskan untuk mengambil suatu keputusan karena laki-laki diposisikan lebih tinggi daripada perempuan. Penomorduaan dalam perempuan ini juga bisa terjadi bukan dalam ranah domestik dan publik saja, namun hal ini juga terjadi di ranah bahasa. Misalkan dalam kata fisherman dan human. Perempuan seakan-akan hanya sebagai “peminjam” dari kata-kata tersebut. Praktik subordinasi ini sesungguhnya dilatarbelakangi oleh kesadaran gender yang tidak adil.
3. Stereotipe
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam sejarahnya, stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, perempuan yang bersolek adalah untuk memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap terjadi kasus pelecehan seksual, perempuan kerap kali disalahkan dan dikaitkan dengan stereotipe ini.
4. Kekerasan (violence)
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh permasalahan gender atau disebut gender related-violence. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya pemerkosaan terhadap perempuan, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), penyiksaan terhadap alat kelamin (genital mutilation), pelacuran, pornografi, pemaksaan KB, kekerasan terselubung dan yang terakhir adalah kekerasan seksual.
5. Beban Kerja Ganda (Double Borden)
Bias gender seringkali menjadi penyebab beban kerja ganda dikalangan perempuan makin merajalela. Adanya anggapan bahwa perempuan lebih ulet dalam konstruk sosial di masyarakat menyebabkan peran diranah domestik keluarga menjadi tanggungjawab perempuan. Konsekuensinya, kaum perempuan harus bekerja keras untuk mengurusi seluruh pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, mengepel, mengurus anak dan lain sebagainya. Ditambah lagi jikalau perempuan tersebut mempunyai pekerjaan diluar ranah domestiknya. Otomatis dia akan bekerja lebih keras lagi. Padahal, pekerjaan ranah domestik keluarga bisa saja dikerjakan oleh suami atau laki-laki. Namun pada kenyataannya perempuan seperti dijadikan “Pekerja lelaki” dalam hal ini.
Isu kesetaraan gender juga tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis dan mutlak antara laki-laki dengan perempuan. Karena pada dasarnya, perempuan tentunya tidak akan siap jika harus menanggung beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki, ataupun sebaliknya laki-laki tidak akan bisa menyelesaikan semua tugas rutin rumah tangga yang biasa dikerjakan perempuan. Analisis tentang gender ini penting bagi laki-laki dan perempuan untuk menciptakan “kesalingan” yang mana nantinya akan memeberikan keuntungan baik itu untuk pihak perempuan atau laki-laki. Karena laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja demi mengembangkan potensi dirinya selagi tidak melanggar hal kodrati yang telah Tuhan anugrahkan.
Referensi :
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013
https://databooks.katadata.co.id/datapublish/2019/11/12/ketimpangan-gender-indonesia-keempat-tertinggi-di-asean
Mantappp
BalasHapusHatur nuhun nu langkung mantap !
HapusMantap tehhh ...😊😊👍👍
BalasHapusSaya mau nanya, di buku analisis gender ada singgungan terhadap kesetaraan hak waris pada pria dan wanita apakah itu perlu untuk menyatarakan persetaraan gender ?
BalasHapus