Bagaimana Cara Penerapan Syari'at Islam di Indonesia?

 

source : pinterest

Salah satu perkembangan yang menarik untuk diamati di negara Indonesia yang mana memiliki populasi muslim terbesar di dunia adalah pelaksanaan syariat (jalan hidup kaum muslimin). Syariat islam adalah wad’un ilahiyun dibuat oleh Tuhan, yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia baik muslim maupun non-muslim. Syariat islam oleh sebagian kelompok islam bahkan diartikan sebagai panduan yang menyeluruh dan sempurna bagi seluruh permasalaan hidup manusia dan menjadikannya sebagai (problem solving) kehidupan di dunia ini. Jika dikaitkan dengan konteks bersyariat di negara Indonesia, maka akan ada relasi antara agama dengan kekuasaan (negara). Tidak dapat dipungkiri bahwa syariat islam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat islam baik secara pribadi maupun komunitas secara luas, dengan dilakukan berdasarkan kesadaran illaiyat dan keiklasan dari komitmen setiap pribadi muslim. Menurut Nurrohman Syarif, dalam jurnalnya yang berjudul “Syariat Islam dalam Perspektif Negara Hukum berdasar Pancasila” mengatakan bahwa hubungan agama dan kekuasaan atau negara merupakan hubungan yang rumit dan unik dalam sepanjang sejarahnya. Dalam sejarah Islam, kerumitan dan keunikan itu bisa ditelusuri sejak kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengatakan bahwa Syariat atau hukum Islam memiliki sejumah karakter. Pertama, ia mengandung nilai sakral karena ia berasal dari Tuhan. Karakter kedua bahwa hukum Islam mengandung muatan moral. Ia tidak hanya berbicara hak dan kewajiban tetapi bebicara tentang apa yang sebaiknya diperbuat dan apa yang sebaiknya tidak diperbuat oleh seorang yang dewasa dan berakal sehat (mukallaf). Karakter ketiga ialah bahwa hukum Islam pada dasarnya bersifat personal, sebab ia terkait dengan keimanan. Karakter keempat, hukum Islam tidak sepenuhnya bergantung pada Negara tertentu, sebab ia dikembangkan oleh para pakar hukum. Negara tidak merumuskan hukum, Negara mengangkat hakim untuk melaksanakan hukum. Sistem hukum Islam merupakan varian ketiga dalam dikhotomi antara civil law dan common law. Karakter kelima, hukum Islam fleksibel dan dinamis. Sebab ia pada dasarnya bisa berubah jika terjadi perubahan sosial. Ia dinamis karena bisa berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia. Ijtihad (individual reasoning) tetap terbuka sepanjang masa.  Karakter, keenam adalah bahwa ia rasional, sebab meskipun ia berasal dari firman Tuhan, tapi dapat dipahami dan sejalan dengan akal sehat atau penjelasan sains.

Indonesia sendiri berideologikan pancasila yang mana ideologi ini tidak dapat diganggu gugat. Walupun dalam perkembangannya banyak kelompok konservatif radikal yang menuntut untuk menerapkan syariat islam secara menyeluruh dalam sistem ketatanegaraan, serta mengganti ideologi bangsa Indonesia dengan Khilafah, dengan dalih Indonesia merupakan negara mayoritas Islam yang belum menjalankan syariat islam secara kaffah. Namun, perlu diingat kembali bahwa pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga merupakan hasil konsesus para ulama Nusantara dan golongan kebangsaan yang juga memperatikan keadaan sosial politik, politik hukum dan tradisi di Indonesia.

Dalam konsteks negara Indonesia, yang berideologikan pancasila setiap warga negara dijamin kebebasan untuk menjalankan syariat agamanya masing-masing, termasuk umat Islam untuk menjalankan syariat Islamnya. Menurut Nurroman Syarif, perlindungan terhadap kebebasan berpikir dan beragama dapat dilihat dari dua indikator berikut ini. Pertama, setiap orang terjamin kebebasannya untuk berpikir atau berijtihad sesuai dengan level dan kompetensinya masing-masing. Kedua, setiap orang terjamin kebebasannya untuk memeluk agama dan kepercayaan dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama hanya bisa dibatasi pada aspek luar atau forum eksternum, bukan pada forum internum.

Bagaimana dengan penerapan hukum islam seperti Jinayyat di Indonesia? Mengingat di Indonesia sendiri tidak menggunakan atau tidak ada regulasi undang-undang yang mengatur hal tersebut sesuai dengan apa yang telah disyariatkan dalam islam?

Menurut penulis, dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat tentang fiqh Jinaayyat. Misalkan dalam hadd potong tangan bagi pencuri. Ada yang mengatakan harus dipotong tangan, ada yang mengatakan tidak perlu artinya hukuman tersebut diganti dengan hal apa saja yang dapat memberikan efek jera kepada si Pelaku. Yang penting tujuan syara’ nya terpenuhi yakni memberikan efek jera itu kepada si Pelaku. Bahkan, ada ulama yang mengartikan qathul yadd dalam ayat itu yaitu memotong kekuasaan si pencuri, artinya dipenjara. Lagipula yang berhak mengukum adalah seorang penguasa atau sultan, bukan sembaranan orang, jadi kalau di negara Indonesia mengenal hukuman penjara, maka dilaksanakan saja untuk menjalankan tujuan syara’. Karena model penerapan syariat di Indonesia berusaha mengamalkan syari’at Islam dengan melihat konsep atau gagasan yang ada dibalik teks. Bila gagasan utamanya telah ditangkap, maka penerapannya bisa dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap ketentuan hukum dalam hukum Islam ada reasoning-nya dan ada tujuannya. Menurut Nurrohman Syarif, dalam jurnal “Syariat Islam dalam Perspektif Negara Hukum berdasar Pancasila” mengatakan Syari’at Islam diterapkan secara terbuka, artinya syari’at Islam diterapkan sembari menerima “unsur-unsur luar” seperti adat setempat dan pemikiran-pemikiran yang berasal dari luar Islam. Syariat Islam bisa disebut terbuka karena ia bisa ditafsirkan oleh siapa saja. Tidak ada monopoli dalam penafsiran syari’at, dan karenanya tidak perlu ada perorangan atau lembaga “pengawas syari’at” yang memonopoli tafsir atas syari’at Islam secara otoriter.

Pada akhirnya, pengertian hukum Islam itu berbeda ketika dicerna oleh benak manusia, dalam hal ini para ulama. Itu sebabnya terjadi perbedaan pendapat. Penulis lebih condong bahwa umat Islam sudah bisa menjalankan syariat Islam di Indonesia dan membenarkan bahwa hukum Allah yang diterapkan dan berlaku di negara Indonesia ini adalah baik. Yang jelas hukum itu harus memberikan efek jera bagi Pelaku. Dengan memperatikan tujuan hukum Islam, yakni untuk melindungi hak-hak dasar manusia, menegakkan keadilan dan membawa kemashlahatan atau kebaikan untuk semua. Dalam upayanya untuk membawa keadilan dan kebaikan bersama, hukum Islam juga mesti bisa memperlihatkan fleksibilitasnya dengan menyesuaikan diri dengan situasi sosial politik yang selalu berubah.




Wallohu a'lam bishowab.

Nida Mustafidah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Istinbath Hukum Mazhab Fiqh Sunni, Syi'ah dan Khawarij

MANIFESTO KETIDAKADILAN GENDER

PERKAWINAN ANAK DALAM PANDANGAN FEMINIST LEGAL THEORY : STUDI KASUS PERKAWINAN ANAK PADA MASA PANDEMI COVID-19