Bagaimana Cara Penerapan Syari'at Islam di Indonesia?
Salah satu
perkembangan yang menarik untuk diamati di negara Indonesia yang mana memiliki
populasi muslim terbesar di dunia adalah pelaksanaan syariat (jalan hidup kaum
muslimin). Syariat islam adalah wad’un ilahiyun dibuat oleh Tuhan, yang
mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia baik muslim maupun non-muslim.
Syariat islam oleh sebagian kelompok islam bahkan diartikan sebagai panduan
yang menyeluruh dan sempurna bagi seluruh permasalaan hidup manusia dan
menjadikannya sebagai (problem solving) kehidupan di dunia ini. Jika
dikaitkan dengan konteks bersyariat di negara Indonesia, maka akan ada relasi
antara agama dengan kekuasaan (negara). Tidak dapat dipungkiri bahwa syariat
islam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat islam baik
secara pribadi maupun komunitas secara luas, dengan dilakukan berdasarkan
kesadaran illaiyat dan keiklasan dari komitmen setiap pribadi muslim. Menurut Nurrohman Syarif, dalam jurnalnya yang berjudul “Syariat
Islam dalam Perspektif Negara Hukum berdasar Pancasila” mengatakan bahwa
hubungan agama dan kekuasaan atau negara merupakan hubungan yang rumit dan unik
dalam sepanjang sejarahnya. Dalam sejarah Islam, kerumitan dan keunikan itu
bisa ditelusuri sejak kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengatakan bahwa
Syariat atau hukum Islam memiliki sejumah karakter. Pertama, ia
mengandung nilai sakral karena ia berasal dari Tuhan. Karakter kedua
bahwa hukum Islam mengandung muatan moral. Ia tidak hanya berbicara hak dan
kewajiban tetapi bebicara tentang apa yang sebaiknya diperbuat dan apa yang
sebaiknya tidak diperbuat oleh seorang yang dewasa dan berakal sehat (mukallaf).
Karakter ketiga ialah bahwa hukum Islam pada dasarnya bersifat personal,
sebab ia terkait dengan keimanan. Karakter keempat, hukum Islam tidak
sepenuhnya bergantung pada Negara tertentu, sebab ia dikembangkan oleh para
pakar hukum. Negara tidak merumuskan hukum, Negara mengangkat hakim untuk
melaksanakan hukum. Sistem hukum Islam merupakan varian ketiga dalam dikhotomi
antara civil law dan common law. Karakter kelima, hukum
Islam fleksibel dan dinamis. Sebab ia pada dasarnya bisa berubah jika terjadi
perubahan sosial. Ia dinamis karena bisa berkembang sesuai dengan perkembangan
peradaban umat manusia. Ijtihad (individual reasoning) tetap terbuka
sepanjang masa. Karakter, keenam
adalah bahwa ia rasional, sebab meskipun ia berasal dari firman Tuhan, tapi
dapat dipahami dan sejalan dengan akal sehat atau penjelasan sains.
Indonesia sendiri
berideologikan pancasila yang mana ideologi ini tidak dapat diganggu gugat.
Walupun dalam perkembangannya banyak kelompok konservatif radikal yang menuntut
untuk menerapkan syariat islam secara menyeluruh dalam sistem ketatanegaraan,
serta mengganti ideologi bangsa Indonesia dengan Khilafah, dengan dalih
Indonesia merupakan negara mayoritas Islam yang belum menjalankan syariat islam
secara kaffah. Namun, perlu diingat kembali bahwa pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia juga merupakan hasil konsesus para ulama Nusantara dan golongan
kebangsaan yang juga memperatikan keadaan sosial politik, politik hukum dan
tradisi di Indonesia.
Dalam konsteks
negara Indonesia, yang berideologikan pancasila setiap warga negara dijamin
kebebasan untuk menjalankan syariat agamanya masing-masing, termasuk umat
Islam untuk menjalankan syariat Islamnya. Menurut Nurroman Syarif, perlindungan
terhadap kebebasan berpikir dan beragama dapat dilihat dari dua indikator
berikut ini. Pertama, setiap orang terjamin kebebasannya untuk berpikir
atau berijtihad sesuai dengan level dan kompetensinya masing-masing. Kedua,
setiap orang terjamin kebebasannya untuk memeluk agama dan kepercayaan dan
beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama hanya bisa
dibatasi pada aspek luar atau forum eksternum, bukan pada forum internum.
Bagaimana
dengan penerapan hukum islam seperti Jinayyat di Indonesia? Mengingat di
Indonesia sendiri tidak menggunakan atau tidak ada regulasi undang-undang yang
mengatur hal tersebut sesuai dengan apa yang telah disyariatkan dalam islam?
Menurut
penulis, dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat tentang fiqh Jinaayyat.
Misalkan dalam hadd potong tangan bagi pencuri. Ada yang mengatakan harus
dipotong tangan, ada yang mengatakan tidak perlu artinya hukuman tersebut diganti
dengan hal apa saja yang dapat memberikan efek jera kepada si Pelaku. Yang
penting tujuan syara’ nya terpenuhi yakni memberikan efek jera itu kepada si
Pelaku. Bahkan, ada ulama yang mengartikan qathul yadd dalam ayat itu
yaitu memotong kekuasaan si pencuri, artinya dipenjara. Lagipula yang berhak
mengukum adalah seorang penguasa atau sultan, bukan sembaranan orang, jadi
kalau di negara Indonesia mengenal hukuman penjara, maka dilaksanakan saja
untuk menjalankan tujuan syara’. Karena model penerapan syariat di Indonesia berusaha
mengamalkan syari’at Islam dengan melihat konsep atau gagasan yang ada dibalik
teks. Bila gagasan utamanya telah ditangkap, maka penerapannya bisa
dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa setiap ketentuan hukum dalam hukum Islam ada reasoning-nya
dan ada tujuannya. Menurut Nurrohman Syarif, dalam jurnal “Syariat Islam
dalam Perspektif Negara Hukum berdasar Pancasila” mengatakan Syari’at Islam
diterapkan secara terbuka, artinya syari’at Islam diterapkan sembari menerima
“unsur-unsur luar” seperti adat setempat dan pemikiran-pemikiran yang berasal
dari luar Islam. Syariat Islam bisa disebut terbuka karena ia bisa ditafsirkan
oleh siapa saja. Tidak ada monopoli dalam penafsiran syari’at, dan karenanya
tidak perlu ada perorangan atau lembaga “pengawas syari’at” yang memonopoli
tafsir atas syari’at Islam secara otoriter.
Pada akhirnya,
pengertian hukum Islam itu berbeda ketika dicerna oleh benak manusia, dalam hal
ini para ulama. Itu sebabnya terjadi perbedaan pendapat. Penulis lebih condong
bahwa umat Islam sudah bisa menjalankan syariat Islam di Indonesia dan
membenarkan bahwa hukum Allah yang diterapkan dan berlaku di negara Indonesia
ini adalah baik. Yang jelas hukum itu harus memberikan efek jera bagi Pelaku.
Dengan memperatikan tujuan hukum Islam, yakni untuk melindungi hak-hak dasar
manusia, menegakkan keadilan dan membawa kemashlahatan atau kebaikan untuk
semua. Dalam upayanya untuk membawa keadilan dan kebaikan bersama, hukum Islam juga
mesti bisa memperlihatkan fleksibilitasnya dengan menyesuaikan diri dengan
situasi sosial politik yang selalu berubah.
Wallohu a'lam bishowab.
Nida Mustafidah
Komentar
Posting Komentar