Keselarasan Mazhab Fiqh Sunni-Syiah dalam Pengambilan Sumber Hukum (Perspektif Imam Ja’far, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i)
Umat islam
sepeninggalan Rasulullah saw menemui berbagai persoalan agama maupun politik
yang menegankan. Diawali dengan persoalan siapakah yang akan menggantikan Rasulullah
sebagai khalifah, yang kemudian diperdebatkan oleh dua kelompok yakni dari kaum
Muhajirin serta kaum Ansor. Situasi tersebut berlanjut pada masa pemerintaan
Usman bin Affan sehingga terjadi pemberontakan dimana-mana sampai akhirnya khalifah
Usman terbunuh oleh para pemberontak dan wafat setelah menjabat selama 12 tahun
menjadi khalifah. Dari peristiwa itu, umat islam mulai banyak terpecah belah. Puncaknya
pada masa pemerintaan Ali bin Abi Thalib saat terjadi tahkim (arbitrase)
dengan Muawiyah bin Abi Sufyan pada akhir perang Siffin. Pada awalnya
permasalaan tersebut hanya menimbulkan konflik politik dan perbedaan dalam hal
politik saja. Namun ternyata umat Islam juga terpecah menjadi banyak aliran dalam
memandang persoalan akidah dan ibadah (fiqh).
Dalam
permasalahan akidah misalnya terjadi konflik antara kelompok Syi’ah dengan
Sunni. Kemudian dalam permasalahan ibadah (fiqh) terjadi diantara para pendiri
madzhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Daud al-Dhahiri, dan Imam Ja’far al-Shidiq. Pada kesempatan kali
ini, penulis akan lebih membahas tentang keselarasan antara Mazhab Fiqh Sunni
dan Syi’ah yang mana secara akidah atau dalam memandang persoalan prinsip
sangatlah berbeda. Dengan mengkomparasikan pemikiran dari tiga Imam Mazhab
besar yakni Imam Syafi’i dan Hanafi (Sunni) dan Imam Jaf’ar (Sy’iah) dalam pengambilan
sumber hukum serta pemahaman mengenai sumber hukum itu sendiri.
1.
Mazhab Fiqh Imam Ja’far
Nama lengkapnya
adalah Abu ‘Abdullah Ja’far ibn Muḥammad al-Baqir ibn ‘Ali Zaynal Abidīn ibn
Husayn ibn Ali ibn ‘Abi Talib al-Hashimi al‘Alawi al- Madani al-Sadiq. Ia
dilahirkan pada tahun 80 H/699 M.[1]
Ayahnya, Al-Baqir merupakan ahli fiqh terkemuka, sedangkan Ibunya, Ummu Farwah
merupakan wanita terormat di masanya. Selain dikenal sebagai ahli fiqh, Imam
Ja’far juga dikenal menguasai ilmu filsafat, tasawuf, kimia, dan kedokteran.
Kaum Syi’ah Itsna Asyariyah menganggapnya sebagai pendiri mazhab
Ja’fari. Selain dalam kalangan Syi’ah, Imam Ja’far juga dikenal sebagai guru
dari dua Imam besar Sunni dalam bidang fiqh, yakni Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sumber hukum mazhab Ja’fari tidak berbeda jauh dengan sumber hukum mazhab fiqh
dalam Sunni, yakni sebagai berikut[2]
:
a. Al-Quran, menurut mazhab Ja’fari, dalam menggali hukum
dari al-Qur’an, seseorang tidak selalu harus berpegang kepada makna lahirnya,
tetapi lebih utama sekali adalah makna batinnya. Untuk mendapatkan makna batin
tersebut, seorang pengikut mazhab Ja’fari harus mempunyai marja’, atau
tempat meminta, yakni para imam. Atas dasar ini, kaum Ja’fariyah menganggap
para imam sebagai al-Qur’an al-natiq, yakni Al-quran yang bisa
berbicara, sementara yang berupa muṣḥaf disebut dengan al-Qur’an al-samit
atau Alquran yang diam. Kandungan yang terdapat dalam al-Qur’ān al-samit
bersifat mujmal (global), karena itu seorang penganut mazhab Ja’fari harus
berpegang pada pemahaman para imam. Pemahaman para imam tidak akan bertentangan
dengan spirit Alquran, sebab mereka merupakan orang-orang yang telah mendapat
petunjuk dari Allah dan terlepas dari dosa (ma’sum).
b. Sunnah, menurut mazhab ini adalah ucapan, tindakan,
dan pembenaran melalui diamnya Nabi dan para imam yang ma’sum. Pemahaman
semacam ini menunjukkan perbedaan dengan kalangan Sunni yang hanya menisbahkan
term Sunnah tersebut hanya kepada Nabi Muhammad. Pengertian sunnah yang
dikemukakan mazhab Syi’ah ini memiliki landasan teologis yang mereka yakini,
baik dalam Alquran maupun hadis Nabi.
c. Ijma’, menurut mazhab ini berarti kesepakatan dengan
suara bulat dari ulama atas suatu persoalan. Kendati menjadi sumber hukum
ketiga, mazhab Ja’fari tidak menganggap ijma’ memiliki kekuatan hukum yang
mandiri.
d. Akal, dapat dianggap sebagai sumber hukum sejauh ia
tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh Alquran dan Sunnah.
Kedudukannya sebagai alat yang digunakan untuk menangakap makna al-Quran yang
tersirat.
Nama lengkap
Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’i ibn
Saib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Adb. Al-Muthalib ibn Abd. Al-Manaf ibn
Qushay al-Quraisyisy. Sedangkan gelar beliau adalah Abu Abdillah.[3]
Lahir pada bulan Rajab tahun 150 H di Gaza. Ketika di Madinah, beliau berguru
kepada Imam Malik yang memiliki corak Ahlul Hadis sampai dengan Imam
Malik wafat. Kemudian beliau juga berguru kepada Muhammad Ibnu Hasan
As-Syaibani yang merupakan murid dari Imam Hanafi yang memiliki corak Ahlul
Ra’yi. Ini menjadikan fiqh Imam Syafi’i dikenal sebagai fiqh yang moderat
dalam kalangan Sunni karena dipengarui oleh corak pemikiran
gurunya. Sumber hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i adalah sebagai berikut[4]
:
a. Al-Qur’an, beliau mengambil dengan makna yang lahir
kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang
harus dipakai atau dituruti.
b. As-Sunnah, beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan
yang mutawatir saja, tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk
menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi
hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatannya dan bersambung langsung sampai
kepada Nabi SAW.
c. Ijma’, dalam arti bahwa para sahabat semua telah
menyepakatinya. Di samping itu, beliau berpendapat dan meyakini bahwa
kemungkinan Ijma’ dan persesuaian faham bagi segenap ulama itu, tidak mungkin
karena berjauhan tempat tinggal dan sukar berkomunikasi. Imam Syafi’i masih
mendahulukan hadits Ahad dari pada Ijma’ yang bersendikan ijtihad, kecuali
kalau ada keterangan bahwa Ijma’ itu bersendikan naqal dan diriwayatkan
orang ramai hingga sampai kepada Rasulullah.
d. Qiyas, Imam Syafi’i memakai qiyas apabila dalam
ketiga dasar hukum di atas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa. Hukum
qiyas yang terpaksa itu hanya mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala
sesuatu yang bertalian ibadah telah cukup sempurna dari al-Qur’an dan
as-Sunnah.
e. Istidlal
(Istishhab), Maulana
Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi mengatakan bahwa Istidlal makna aslinya
menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Imam Syafi’i memakai jalan
istidlal dengan mencari alasan atas akidah-akidah agama ahli kitab yang
terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Qur’an.
3. Mazhab Fiqh
Imam Hanafi
Nama lengkapnya
adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahmuli Taymillah bin Tsa’labah.
Beliau dilahirkan pada tahun 80 H (659 M) di sebuah desa di wilayah
pemerintahan Abdullah bin Marwan dan meninggal pada masa khalifah Abu Ja’far
alMansur pada tahun 105 H.[5]
Imam Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah, di kota ini ia mulai belajar dan menimba
ilmu sebanyak-banyaknya. Selain itu, beliau pernah melakukan pengembaraan ke
Basrah, Makkah dan Madinah. Imam Abu Hanifah merupakan salah satu murid Imam
Ja’far dan pernah belajar juga dengan Imam Ahlul bait lainnya. Beliau merupakan
Imam mazhab Sunni pertama yang meletakkan corak fiqh Ahlul Ra’yi. Sumber
hukum yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah adalah sebagai berikut :
a. Al-Qur’an, beliau berkata, “Saya memberikan hukum
berdasarkan al-Qur’an. Apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka saya
gunakan hadits Rasulullah....”
b. Sunnah, merupakan sumber hukum yan kedua setelah
Al-quran. Selain itu, beliau juga mengambil pendapat dari para sahabat yang beliau
yakini.
c. Ijma’, merupakan satu sumber dalam Islam yang
berlaku setelah al-Quran dan as-Sunnah. Menurut Abu Zahrah, para ulama berbeda
pendapat terkait jumlah pelaku kesepakatan ijma’.
d. Qiyas, sebagaimana mazhab fiqh sunni lainnya, Qiyas
dalam mazhab ini memiliki empat rukun yang harus dipenuhi, yaitu al-Ashlu,
al-Furu’ Hukum asal dan ‘Illat.
e. Istihsan, secara bahasa adalah menganggap baik.
Sedangkan dalam ushul fiqh maksudnya ialah berpalingnya mujtahid dari tuntunan
qiyash yang jalli (nyata) kepada qiyash yang khafy (Samar), atau
dari hukum kulli kepada hukum istisnai sebab ada dalil yang
menyebabkan dia memilih berpaling ini.
4. Simpulan
Dari pemaparan
di atas, penulis akan memaparkan beberapa kesamaan antar mazhab tersebut,
diantaranya sebaai berikut :
1. Secara umum,
baik mazhab fiqh Ja’fari atau fiqh Hanafi dan Syafi’i ketiganya sama-sama
menggunakan tiga sumber di dalam menghasilkan hukum (Al-quran, sunnah dan
Ijma’). Meskipun dalam penggunaan sunnah ada sedikit perbedaan, yakni Syiah
menjadikan sunnah Rasulullah Saw dan keluarga-keluarga saja, akan tetapi Hanafi
dan Syafi’i, sebagai mazhab dalam Sunni menjadikan Sunnah Rasulullah Saw secara
selektif melalui penalaran rasio (ra’yu).
2. Ketiganya
sama-sama menjadikan rasio dalam menentukan sebuah hukum. Hal ini, menurut
penulis, disebabkan karena Imam Abu Hanifah merupakan salah satu murid Imam
Ja’far As-Shadiq. Sedang Imam Syafi’i juga berguru kepada murid Imam Abu
Hanifah yang sama-sama menitikberatkan kepada rasio. Kendati Imam Syafii lebih
dikenal sebagai ahlul hadis.
Bisa ditarik
kesimpulan bahwa Mazhab Ja’fari sebagai mazhab dalam Syi’ah, khususnya Syi’ah Itsna
‘Ashariyyah menjadikan empat sumber hukum, yaitu al-Quran, Sunnah, Ijma’
dan Akal. Mazhab Hanafi, yaitu al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyash, Istihsan.
Sedangkan mazhab Syafi’i menggunakan al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyash, dan
Istishab (Istidlal).
[1] Bahrul Hamdi,
TEORI HUKUM JA’FARIYAH (Analisis
Historis Mazhab Fikih Ja’far As-Shadiq
Dan Implikasinya Pada Produk Hukumnya) , ALHURRIYAH : Jurnal Hukum
Islam, Vol. 03., No. 02, (Juli-Desember 2018), h. 132
[2] Ibid h. 135-136
[3] Fathur Rozi, SEJARAH PEMIKIRAN MAZHAB FIQH
IMAM SYAFI’I, Jurnal Putih, h. 134-135
[4]
Ibid h. 142-143
[5]
Abdurrahman
Kasdi, METODE IJTIHAD DAN KARAKTERISTIK FIQIH
ABU HANIFAH, YUDISIA, Vol. 5, No. 2, (Desember, 2014), h. 217
Komentar
Posting Komentar