Refleksi Historis Kemerdekaan Indonesia Bagi Kalangan Santri

   

Hari kemerdekaan Indonesia diperingati setiap tanggal 17 Agustus. Sudah 7 dekade Indonesia menyandang predikat sebagai bangsa yang bebas, merdeka dari para penjajah. Peran berbagai pihak dalam melawan kolonialisme sangatlah berpengaruh bagi kemerdekaan negara Indonesia, baik dari kalangan nasionalis maupun kalangan agamis yang dalam hal ini diwakili oleh para ulama dan santri. Menurut Bizawe (2016), setelah perang Diponegoro masih ada sekitar 130 pertempuran yang melibatkan kalangan pesantren demi bangsa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa perjuangan para ulama dan santri dalam merebut kemerdekaan sampai bisa menikmati suasana kemerdekaan saat ini sangatlah besar. Mereka yang memberikan kesadaran bahwa rakyat Indonesia saat itu sedang diinjak-injak oleh para penjajah, bahkan sampai disebut sebagai inlander (bangsa rendahan).

Kalangan ulama dan santri bukan saja berjuang dalam peperangan, namun secara spiritualitas dan ilmu pengetahuan. Para ulama mewariskan semangat jihad melawan para penjajah yang membawa keyakinan bagi para santri untuk terus berjuang melawan kolonialisme. Itulah santri, ketundukkan dan “manut”nya pada guru (ulama) mengantarkan mereka menjadi salah satu garda terkuat dalam melawan serta meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dalam Jurnal Islam Nusantara tahun 2018 disebutkan bahwa pada periode kolonial, pihak yang selalu konsisten anti kolonial adalah para ulama dan santri sehingga mereka terus menjaga tradisi perlawanan melawan kolonial. Tradisi perlawanan ini tidaklah hanya didasarkan pada pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam. 

Para ulama berijtihad bahwa kemerdekaan RI harus segera terealisasikan pada saat meletusnya Perang Dunia ke II, yang saat itu Jepang tengah menguasai wilayah Hindia Belanda. Dengan memanfaatkan keadaan Jepang yang sedang tertekan oleh sekutu. Bizawe (2016) mencatat bahwa pada tahun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar hisbullah dan sabilillah. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa pelawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiyai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata masih banyak serangan dari bangsa luar yang mengancam kemerdekaan Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Oktober 1945, para ulama dan santri dari berbagai provinsi berkumpul di Surabaya untuk merumuskan Resolusi Jihad. Resolusi jihad ini pada intinya mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahakan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah. Hal tersebut yang dijadikan pegangan dan mengilhami perlawanan para santri dari berbagai daerah untuk melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika perang 10 November 1945 di Surabaya, hal ini terlihat ketika para kyai berduyun-duyun mengirimkan para santri untuk bergabung dengan Hizbullah, Sabilillah, dan badan-badan perjuangan lain.

Rasulullah saw., sebagai suri tauladan umat Islam sebetulnya sudah mencontohkan sikap nasionalismenya saat didirikannya negara Madinah, yang mana Rasul berhasil memimpin dan mempersatukan umat yang beraneka ragam suku dan agama. Beliau berhasil meletakkan nasionalisme modern yang diakui oleh berbagai pakar sejarah. Dalam konteks Indonesia, nasionalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan hukum konstitusional lainnya sebagai landasan kehidupan berbangsa, serta menyetujui NKRI sebagai final concept negara ini. K.H Abdurraman Wahid atau akrab dikenal dengan Gus Dur pernah berkata bahwa pesantren sebagai subkultur tersendiri dalam sejarahnya selalu konsisten dengan sikap nasionalismenya terhadap bangsa ini. Salah satu wujud rasa cinta tanah air itu terimplementasi melalui perjuangan yang gigih melawan kolonialisme Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sehingga pada waktu itu, pesantren selain berperan sebagai basis edukasi bagi masyarakat (santri), khususnya di pedesaan, juga berperan sebagai pusat perlawanan terhadap bangsa kolonial. Dengan slogan jihad fi sabilillah para ulama pesantren menjadi motor penggerak perjuangan, bersama-sama dengan rakyat berperang melawan Belanda dan sekutunya. Douwes Dakker mengatakan “jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejaranya sehingga mencapai kemerdekaan”. Ini menandakan bahwa semanagat nasionalisme dari kalangan umat Islam dipengaruhi oleh cara didikan agamanya, dalam hal ini pendidikan di pesantren. Para ulama menanamkan semangat jihad yang membara dalam melawan kolonialisme sehingga para santri pun akhirnya menjadi kaum yang mempunyai jiwa militan.

Melihat dari catatan sejarah tersebut, santri, pondok pesantren dan semangat juang resolusi jihad memang memiliki peranan penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan sejak tahun 2015 pada pemerintahan presiden Jokowi ditetapkan Keppres tentang Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Hal ini menandakan pengakuan resmi pemerintah atas peran yang amat besar dari kalangan santri dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga keutuhan NKRI. Sampai saat ini, kala Indonesia mengadapi arus modernitas dan revolusi industri 4.0, sebagai cara mengisi kemerdekaan, kalangan santri masih diharapkan menjadi agen perubahan dan agen persatuan umat yang senantiasa mensyiarkan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin sehingga terhindar dari paham radikalisme yang ditandai oleh antitoleransi, fanatik, sikap yang eksklusif dan revolusioner (cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan) yang bisa memecah belah serta mengancam kemerdekaan bangsa. 


Wallohu a'lam bishowab

Nida Mustafidah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Istinbath Hukum Mazhab Fiqh Sunni, Syi'ah dan Khawarij

MANIFESTO KETIDAKADILAN GENDER

PERKAWINAN ANAK DALAM PANDANGAN FEMINIST LEGAL THEORY : STUDI KASUS PERKAWINAN ANAK PADA MASA PANDEMI COVID-19